Adat-istiadat selalu menarik untuk dicermati. Kali ini saya akan membahas tentang adat-istiadat dua suku yakni Batak (Toba) dan Karo. Secara umum, Batak dan Karo memiliki persamaan adat dan budaya yang kemudian melahirkan anggapan bahwa Batak dan Karo merupakan suku yang sama.
Meski terlihat sama, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang layak disebut “khas”. Adanya perbedaan khas itulah yang memunculkan tafsir baru khususnya dalam beberapa tahun belakangan, bahwa Karo bukanlah bagian dari suku Batak.
ini dia perbedaan antara Batak Karo dan Batak Toba :
- PAKAIAN
Sesuai dengan namanya, suku Batak Toba bermuki, di sekitar wilayah Danau Toba. Pakaian adat yang digunakan oleh suku ini pun sangat khas dikarenakan menggunakan jenis kain yang berbeda yaitu kain hasil tenunan yang diberi nama dengan kain ulos.
Pada umumnya kain ulos merupakan kain yang ditenun secara manual dengan menggunakan peralatan tenun tradisional. Bahan dasar kain ulos adalah benang sutra. Suku Batak Toba pada umumnya menggunakan benang dengan warna putih, hitam, emas, merah ataupun perak untuk membuat kain ulos.
Kain ulos telah menjadi ciri khas dari suku Batak, bahkan untuk pakaian adat Sumatera Utara kebanyakan suku menggunakan kain ulos sebagai materialnya. Kain ulos tidak hanya menjadi bahan untuk pakaian adat saja, akan tetapi juga sering digunakan untuk pakaian sehari-hari oleh masyarakat suku Batak.
Kain ulos umumnya memiliki motif yang berbeda-beda antara lain ialah kain ulos padang ursa, pinan lobu-lobu, pinuncaan, antak-antak, bintang maratur serta kain ulos boolean.
Setiap jenis kain ulos akan dikenakan pada acara dan kesempatan yang berbeda-beda, dikarenakan setiap jenisnya memiliki makna yang berbeda-beda pula. Contohnya ulos ragi hotang biasa dikenakan ketika pesta sukacita dan ulos simbolang biasa digunakan ketika sedang berduka. Ketika upacara adat, kain ulos umumnya digunakan sebagai selendang, sementara kain yang digunakan sebagai pakaian adalah sadum, runjat dan jugjaragidup dan lain sebagainya.
Pakaian adat pria dari suku Batak Toba bagian atas disebut sebagai ampe-ampe sementara bagian bawahnya disebut dengan singkot. Sedangkan pakaian adat perempuan, bagian atasnya disebut hoba-hoba dan bagian bawahnya disebut sebagai haen.
Biasanya pakaian adat ini dilengkapi dengan aksesoris seperti penutup kepala yang disebut dengan bulang-bulang dan biasa dikenakan oleh laki-laki sebagai pengikat kepala atau tali jika digunakan perempuan dan dilengkapi pula dengan selendang ulos.
sementara suku Karo memiliki kain khusus yang terbuat dari pintalan kapas dan disebut dengan uis gara. Uis gara artinya adalah kain merah dikarenakan proses pembuatannya menggunakan benang berwarna merah.
Warna dasar merah dari kain uis gara ini lalu dipadu padankan dengan warna benang yang lainnya contohnya benang dengan warna perak atau emas agar kainnya terlihat lebih menarik.
Meskipun kain uis gara dominan dengan warna merah,tetapi ada pula kain uis gara yang berwarna putih dan hitam. Biasanya, suku Karo mengenakan kain uis gara dalam kegiatan sehari-harinya dan digunakan pula untuk upacara adat resmi. Jenis serta cara penggunaan kain uis gara juga berbeda-beda bergantung pada kesempatan dan acaranya. Penggunaannya berbeda-beda karena memiliki makna dan simbol yang berbeda.
Contohnya, pakaian adat dengan kain uis beka buluh yang menyimbolkan kebesaran, ada pula pakaian uis gatip jongkit yang menyimbolkan kekuatan dan lain sebagainya.
Para pria dari suku Karo pada umumnya akan menggunakan dalam seperti jas dan dilengkapi dengan menggunakan dasi. Kemudian, barulah akan dilapisi lagi dengan kain uis gara untuk dililitkan di sekitar badan.
Selain dililitkan di sekitar badan, kain uis gara juga biasa digunakan sebagai penutup kepala yang dibentuk menjulang ke arah atas, penutup kepala tersebut melambangkan mengenai ketinggian dari budi luhur masyarakat suku Karo.
- Lokasi Pernikahan
Hal ini sangat penting karena menyangkut “eksistensi”. Dalam adat Batak, lokasi pernikahan merupakan hak prerogatif pihak laki-laki. Keluarga laki-lakilah yang mempunyai kewenangan menentukan di mana lokasi pernikahan akan digelar.
Tradisinya, lokasi pesta pernikahan adalah di kampung halaman pengantin laki-laki, atau lokasi lain yang ditunjuk dalam kasus pengantin laki-laki tidak lagi tertarik menggelar pesta di kampung halaman.
Sebaliknya, dalam adat Karo, pihak pengantin perempuanlah yang berhak menentukan lokasi pernikahan. Sehingga tak jarang, “rebutan” lokasi pernikahan ini merupakan perdebatan alot ketika seorang lelaki Batak ingin mempersunting seorang wanita Karo.
Meski begitu, perbedaan penentuan lokasi ini, sejauh pengetahuan saya, belum pernah menjadi penghalang terwujudnya sebuah pesta pernikahan. Salah satu pihak biasanya akan mengalah.
- Peran Pamoruan/Anak Beru
Pamoruan (Batak) atau Anak Bru (Karo) adalah sebutan bagi suami dan keluarganya dari keluarga pengantin laki-laki. Itu berarti, pamoruan maupun anak bru memiliki marga yang berbeda dengan pengantin laki-laki.
Dalam adat Batak, peran pamoruan sangat penting khususnya dalam urusan “seksi repot”. Mereka inilah yang bertanggungjawab dalam segala urusan sebuah pesta, mempersiapkan agar pesta berjalan dengan sebaik-baiknya.
Adapun peran pihak keluarga laki-laki (suhut) adalah menjalankan ritual adat yang berkolaborasi dengan pihak laki-laki dari pengantin perempuan (hula-hula). Dalam adat Batak, pamoruan tidak mendapat fungsi sebagai “Raja Parhata” atau pihak yang bertanggungjawab atas prosesi adat dalam sebuah pesta.
Sementara dalam adat Karo, fungsi pamoruan yang dalam bahasa Karo disebut Anak Bru/Anak Beru tidak cukup hanya berperan sebagai seksi repot. Berbeda dengan Batak, anak bru di Karo juga bertugas sebagai “Raja Parhata” atau Perkata yang juga berkolaborasi dengan Perkata dari pihak pengantin perempuan.
- Tumpak/Pertama
Dalam setiap pesta, tamu undangan lazim memberikan sebuah amplop berisi uang kepada pengantin maupun keluarganya. Nah, uang dalam amplop itu disebut “tumpak” dalam bahasa Batak dan “pertama” dalam bahasa Karo.
Dalam adat Batak, seluruh tumpak merupakan kewenangan dari keluarga pengantin laki-laki. Meskipun dalam beberapa kasus, tumpak itu bisa saja menjadi hak keluarga pengantin perempuan ketika yang menjadi “tuan rumah” pesta tersebut adalah pihak perempuan. Tumpak baik yang diberikan oleh tamu pengantin laki-laki maupun tamu pengantin perempuan, seluruhnya menjadi milik pengantin laki-laki.
Sementara dalam adat Karo, pengumpulan “pertama” sudah langsung dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah pertama yang berasal dari undangan pihak pengantin laki-laki.
Sementara kelompok kedua adalah pertama yang berasal dari undangan pengantin perempuan. Nah, pertama yang telah terkumpul akan menjadi milik sesuai kelompoknya. Dengan kata lain, masing-masing keluarga pengantin akan memperoleh “pertama”.