“Jangan s e ntuh.” Tanganku terulur ke depan, membuat langkahnya yang hendak mendekat terhenti. Alis itu bertaut meminta penjelasan.
“Aku tidak ingin melakukannya lagi.” Getar suara yang tak mampu kusembunyikan, dia menyeringai.
“Kenapa?” Mata taj am itu menelisik setiap jengkal tub u hku yang menggigil.
“Aku ingin kita berpisah, aku tak sanggup … Tolong.” Netra ini mengembun dan langsung diikuti tetesan yang kemudian kuusap dengan kasar.
“Jangan berkata yang aneh-aneh.” Suara dingin itu menjadikan gigilku semakin kencang apa lagi setelah dia melepaskan ikat pingg a ngnya.
“Aku mohon,” tangisku tumpah, memilih duduk memeluk lutut di sudut tempat tidur, menatap nanar ke arahnya yang semakin tak berjarak.
“Aku, aku hamil. Jadi, jangan seperti itu lagi.”
Sesak, aku mencoba menahan getar ketakutan ketika dia mulai mengusap kepalaku.
“Ini hanya sebentar,” bisiknya dan mulai beraksi.
Aku tak bisa melawan layaknya seorang pend 0sa yang tengah dihukum. Tamp a ran, dor 0ng an, tak ketinggalan beberapa kali lec u tan dari ik at pingg angnya mendarat di punggungku. Malam ini kembali berlalu, dan aku masih hidup.
Dengan tubuh remuk aku terbangun pagi ini, segera bangkit dan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia masih pulas, posisi tidurnya begitu menyakitkan bagiku, dia membelakang dan memeluk bantal guling.
“Aku tidak bisa memeluk tanpa meny akitimu.” Itu katanya ketika satu pagi aku menatap penuh tanya.
Bahkan, dia tak pernah memelukku.
Air mata kembali jatuh ketika air yang dingin membasuh punggung. Entah seberapa parah kali ini, tapi yang jelas perih sekali kena air. Dia melakukannya setiap malam, dan entah seperti apa punggungku saat ini.
Kami pasangan pengantin baru, yang seharusnya bahagia. Namun, nyatanya hanya dia yang bahagia. Dia puas melihat lu ka-l uka di tu buhku, dia puas melihat air mataku.
“Sayang, cepatlah. Aku juga mau mandi nanti terlambat. Kok pintunya dikunci?”
“Ya!”
Aku bergegas, jangan sampai dia memaksa masuk, atau aku akan meminta untuk ma ti saja. Cukup sekali waktu itu, dan aku nyaris pings an.
“Maaf,” ucapku ke luar kamar mandi dengan pakaian sudah lengkap, menatapnya sekilas aku berlalu, mencoba menghindari dan pergi ke dapur.
Dia menyayangiku dengan cara yang berbeda, siang hari di depan semua orang dia begitu rom a ntis, tapi ketika kami berdua dia adalah monster. Bahkan ketika berci u man dia harus menyakitiku dulu.
“Kakak sudah bangun? ciee rambutnya basah lagi,” goda Yana adikku, kami sama-sama menikah hanya saja dia benar-benar bahagia.
Aku diam hanya menanggapi dengan senyum kecil.
“Kok Kakak pucat amat? Kasih tahulah sama Bang Ade, jangan terlalu dip a ksakan. Kakak, kan lagi hamil,” cerososnya mengambil alih kuali penggorengan dan menggeser tubuhku.
“Sudah, ah. Jangan becanda mulu.” Aku segera menyeduh kopi ketika melihat Ade ke luar kamar.
“Ciee, suami Kakak ganteng amat.” Yana kembali menggoda.
Dia memang ganteng, aku tahu betul itu. Tanpa menanggapi Yana memilih mengantarkan kopi ke meja makan. Sejenak kami bertatapan, selalu, tatap itu tak terbaca dan membuatku takut.
Dia memang pendiam. Bicara hanya bila perlu, dia mapan, bekerja di sebuah kantor dengan jabatan tinggi. Idola semua wanita, aku bagai ditimpa durian runtuh ketika mendapatkannya.
Aku hanyalah seorang pegawai kantor biasa, yang kebetulan satu kantor yang sama dengannya. Ketika itu kami terjebak waktu, hari mulai gelap baru ke luar kantor. Dia menawarkan untuk mengantar pulang.
Tidak terlalu sering bertemu hanya sesekali, itu pun urusan kantor. Dan tiba-tiba saja dia datang ke rumah dan melamarku.
Aku tidak percaya. Ya, awalnya aku tak percaya. Dari sekian banyak karyawan kenapa memilihku? Seorang wanita sederhana, yang lahir dari keluarga pas-pasan. Tidak ada yang menonjol dari wajah dan penampilan. Aku benar-benar biasa saja.
“Aku mencari orang yang benar-benar akan memu ask a nku. Kamu memang tak secantik mereka tapi kamu juga tak buruk. Kamu memiliki apa yang tak mereka miliki. Aku suka kediamanmu.”
Sekarang aku mengerti apa maksud kata-katanya dulu. Dia suka sifat pendiamku. Ya, aku memang diam. Tiga bulan pernikahan, dan aku masih bertahan.
Aku menatap hampa mobil yang meluncur dari pekarangan, lega. Entah, lega karena aku bisa sedikit mengendorkan saraf yang selalu tegang.
“Kak, aku akan pindah, Ardi sudah menemukan kontarakan yang pas untuk kami berdua. Nggak enak numpang terus bersama kalian.” Kami berdua duduk di meja makan dekat dapur menikmati sarapan pagi yang tadi dibuat Yana.
Yana memang menumpang di rumahku dari dua bulan lalu. Ade sudah menyiapkan rumah ini jauh-jauh hari sebelum kami menikah. Ardi suami Yana yang kantornya berdekatan dengan Ade minta izin untuk numpang menjelang mereka mendapatkan rumah kontrakan.
“Di mana, apakah jauh dari sini?” tanyaku gemetar, aku tak ingin dia pindah.
“Tidak, Kak. Hanya beberapa kilo, kalau naik motor setengah jaman juga sampai.” Yana merangkulku.
“Aduh!” Spontan aku melepaskan diri dari rangkulan Yana dan dia menatapku heran.
Dia merangkul bahuku, semalam ikat pingg#ng Ade melec ut ku di sana.
“Kenapa?” Yana menatap curiga.
Aku tersenyum, berjuang untuk terlihat baik-baik saja.
“Tidak ada, kaget saja kamu menyergap begitu.”
“Kakak yakin?” selidiknya, Yana orangnya keras, sifat dan kelakuannya bertolak belakang denganku.
“Iya. Oh, ya, kamu kapan pindahnya?” Aku berupaya mengalihkan perhatiannya dan berhasil.
“Nanti sore, setelah Mas Ardi pulang kerja kami langsung berkemas.” Senyumnya kembali ceria.
Oh, Tuhan. Tolong hentikan waktu.
Selanjutnya kami menghabiskan waktu dengan perbincangan yang tak perlu. Aku takut tak bisa bertahan untuk pertemuan yang berikutnya.
“Eh, Kak, ada film bagus, yang katanya booming kala itu. Sayang sekali tak dapat izin tayang di Indonesia. Bisa sih sekarang nonton lewat youtube atau aplikasi lainnya tapi pastilah tidak seru,” ujar Yana dengan raut kecewa, dia memang suka nonton di Bioskop, lagi-lagi bertolak belakang denganku.
“Apa itu?” Aku buta tentang perfileman, aku hanya suka membaca.
“Kakak, nggak tahu? Itu film terinspirasi dari novel, beneran Kakak nggak tahu?”
“Yana, tidak semua novel Kakak miliki, memang tentang apa, sih?”
“Romantisme yang tak biasa, Fifty sades ….”
“Oh, itu.” Aku pernah membaca postingan teman facebook yang lewat di time line.
Kemudian Yana menceritakan hasil penelusurannya di Om Google, sekilas mirip dengan keadaanku, tapi tentu saja berbeda.
“Kakak kenapa? Kok pucat gitu?”
Aku tersadar dan menggeleng cepat.
Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Hari ini berlalu cepat dari biasanya, aku merebahkan diri di tempat tidur. Sementara Yana sedang berkemas dengan suaminya. Ya, sore telah datang. Tuhan tidak menghentikan waktu seperti permintaanku.
Kuraih ponsel mengecek kalau ada notifikasi yang masuk. Aku membaca komentar di WAG kantor. Beberapa teman masih saja menggoda, ada yang iri dan berharap menjadi aku. Berhenti bekerja, dapat suami mapan, sungguh hidup yang sempurna. Aku hanya tersenyum, getir.
Ada notifikasi pesan masuk dari Ade.
‘Aku pulang malam’ sedikit lega dan, berharap dia tak pulang.
“Kak, kami sudah siap!” teriak Yana dari luar.
Dia langsung memeluk ketika aku ke luar, spontan aku mendorong, nyaris dia jatuh kalau saja tak dipegangi suaminya, Ardi. Dia kaget bukan kepalang.
“Kakak!” jeritnya menatapku heran.
“Maaf,” ujarku pelan, pelukannya terlalu kuat aku sungguh tak bisa menahan perih.
“Kakak kenapa? Kakak jatuh? Terl u ka? Atau kenapa, sih? Tadi juga begitu.”
“Tidak, tidak. Kakak cuma kaget,” ujarku gugup.
Dia menyipitkan mata menatapku tak percaya.
“Aku ingin melihat ada apa dengan punggung, Kakak.”
Kemudian dia menyeretku masuk kamar.
RAHASIA SUAMIKU (TAMAT)
Dibalik wajah rupawan suamiku, ternyata dia punya rahasia meng erikan di atas r4nj ang.
Baca juga : Kisah Nyata ! Tante-tante girang kesepian yang gemar memelihara para Brondong